Home
Archive for
2015
Cerita Mistis Gadis di Siang Bolong
Hari itu terasa menyebalkan bagi Rio.
Tugas yang semalaman susah-payah ia kerjakan
ternyata dianggap salah oleh dosen sehingga perlu revisi. Ditambah lagi baju kotor di kos yang menumpuk belum
tersentuh sama sekali sejak sebulan lalu, bahkan saldo di ATM yang semakin dekat ke angka Rp 0., membuatnya pusing tujuh keliling. Jauh dari orangtua
membuatnya harus benar-benar mandiri menghadapi dinamika kehidupan kampus.
Sengatan matahari di siang hari itu
semakin membuat Rio ingin meledak. Dengan tergesa-gesa dia
berjalan menuju jalan raya, tempat pemberhentian sementara jemputan
kesayangannya. Mikrolet. Semilir angin di tengah perjalanan membuatnya reflek
menoleh ke rumah bernuansa putih di sebelah
kanan jalan. ‘Pasti rumah itu bangunan Belanda’, bisiknya dalam hati. Dia mengamati
interior luar rumah tersebut yang memiliki jendela berbentuk besar, lantai bermotif lawas, dan halaman
hijau luas di depannya yang ditumbuhi ilalang tinggi-tinggi.
“Ssshhh … ”
Angin kencang berhembus ketika dia berhenti
mengamati seorang gadis berpakaian serba hitam dari atas hingga ujung kaki yang
sedang bersantai di depan rumah. ‘Aduh
ngapain sih jadi salah fokus liatin cewek dan rumah serem itu, aku kan pengen buru-buru tidur’, batin Rio sambil memukul kepalanya perlahan dan
bergegas melanjutkan perjalanannya menemukan bapak-bapak sopir mikrolet.
Ternyata penumpang
angkutan umum hari itu sedang sepi. Rio dengan mudah bisa mendapatkan mikrolet
yang lengang untuk menuju kosnya. Duduk di bangku tepat
belakang sopir, membuatnya bisa menikmati pemandangan di sepanjang jalan.
Sebelum meninggalkan
lampu merah pertama yang terletak di jalan Mawar, Rio kembali melihat gadis di
rumah peninggalan Belanda tadi. Dia berdiri di
ujung jalan dan melambaikan tangan, mencoba untuk mencegat mikrolet yang Rio
naiki.
Mikrolet ini
berjalan begitu lambat, sehingga membuat Rio
bisa mengamati detail gadis berhawa misterius itu. Gadis itu berambut panjang lurus
melewati bahu dan memiliki poni yang menutupi mata kirinya, mengenakan dress selutut berwarna hitam polos, tas
selempang dan sepatu hitam, juga menenteng payung hitam. Rio keheranan melihat
dandanan gadis itu serta tingkah bapak
sopir yang tak segera memberhentikan mikrolet agar gadis itu bisa naik.
Mikrolet terus melaju seolah tak menghiraukan lambaian gadis itu.
Beberapa meter dari situ, terdapat
segerombolan anak SMA yang juga ingin memberhentikan angkutN ini. Anehnya, kali ini sang
sopir mikrolet langsung berhenti tepat di depan mereka. Melalui kaca belakang mikrolet, Rio masih bisa menyaksikan
gadis misterius tadi. Namun, gadis itu tidak segera berlari atau berjalan
menuju mikrolet ini, padahal dia tadi melambaikan tangannya.
Mikrolet pun melanjutkan perjalanannya membelah kota. Jarak
antara kos Rio dengan kampus memang cukup jauh. Diperlukan waktu sekitar satu jam untuk pulang-pergi
dari kos ke kampus,
begitu pula sebaliknya. Setelah
melewati jalan Mayjend Panjaitan, mikrolet menuju arah dekat jalan Veteran. Mikrolet berhenti lagi karena mendapatkan penumpang
sepasang kekasih di ujung jalan.
Sebelum mikrolet sampai di ujung jalan, tempat sepasang kekasih yang juga ingin naik mikrolet
itu berada, ternyata ia melihat sosok yang mulai tak asing di matanya. Lagi-lagi
sedang melambaikan tangannya. Sosok itu terlihat pucat pasi dan tersenyum ke
arah Rio. ‘Ya ampun … itu kan gadis yang tadi,’ pikirnya heran.
Sontak, Rio memberhentikan mikrolet. Dia
terlalu penasaran dengan gadis tersebut. Bagaimana dia dengan tatapan kosong
duduk sendirian di rumah Belanda yang begitu besar dan seram, bagaimana dia
hanya berdiri di pinggir jalan sambil melambai tangan tanpa berlari mengejar ketika mikrolet tak berhenti tepat di
depannya, bagaimana di siang hari yang terik dia justru memakai pakaian serba
hitam bahkan membawa payung berwarna hitam, dan
bagaimana-bagaimana yang lain yang bermunculan di
kepala Rio. Dia tak ingin menambah pikiran dan beban hidup karena penasaran
dengan gadis yang satu ini.
Usai turun dan membayar, Rio langsung
membalikkan badannya mencari gadis itu. Tapi gadis itu menghilang. Diedarkannya
pandangan ke seluruh penjuru jalan Veteran, namun gadis itu tak kunjung dia
temukan. Rio juga mencoba menanyakan keberadaan gadis itu pada orang di
sekitar.
Tiba-tiba dia melihat
bapak tukang bakso keliling berdiri tepat di depan Rio dan memegang pundaknya.“Nak,
makhluk halus itu tidak hanya menampakkan wujudnya pada malam hari saja, ia juga
bisa keluar pada siang hari. Jangan
lupa banyak berdoa dimanapun dan kapanpun kamu
berada ya,” Pesan sang bapak.
Rio hanya
bisa linglung dibuatnya.
“Mari, Nak … Bapak permisi
dulu,” Pamit bapak tukang bakso. Lagi-lagi, Rio
hanya bisa melemparkan pandangan ke sekeliling. Tak ditemuinya lagi gadis
berpakaian serba hitam yang misterius itu. (arn & nzl)
Karena Berpisah Bukan Berarti Berakhir
Namaku
Tara, seorang mahasiswa semester akhir yang sedang sibuk dengan tugas akhirnya.
Seorang mahasiswa prantauan di kota orang. Hidup sendiri tanpa ada sanak
ataupun saudara. Aku hanya mempunyai beberapa sahabat yang setia menemaniku
sejak pertama kali aku mengenal kota ini.
Menjadi
mahasiswa tingkat akhir bukanlah perkara yang mudah, mungkin terlihat santai
karena tidak disibukkan dengan jadwal kuliah atau tugas-tugas dari dosen, namun
cukup dipusingkan dengan tugas akhir yang tak kunjung selesai. Hampir setiap
hari aku tetap ke pergi kampus, entah bertemu dosen pembimbing atau sekedar ke
perpustakaan mencari beberapa informasi.
Entah
sudah berapa banyak kertas yang kubuang akibat coretan untuk keperluan revisi.
Entah sudah berapa banyak kopi yang ku minum agar kuat menahan kantuk di malam
hari untuk menyelesaikan tugas ini. Entah sudah berapa banyak kata ‘capek’ yang
kukeluarkan ketika aku ingin menyerah. Namun, saat kata itu terucap hanya wajah
orang tuaku lah yang ku ingat, karena ku tahu mereka tidak pernah mengeluh
untuk terus memperjuangkanku.
Pagi
itu aku kembali menemui Pak Rizki. Seperti biasa aku berkonsultasi tentang
tugas akhirku. Sampai pada akhirnya Pak Rizki berkata, “Tara, saya rasa
penelitian kamu sudah cukup. Saya mau kamu maju untuk ujian skripsi.” Mendengar
perkataannya, dadaku terasa sesak. Seakan tak percaya jika sudah saatnya aku
mempertanggungjawabkan tugas akhirku. Aku harus siap. Harus.
Langit
terlihat biru cerah, dihiasi sinar matahari yang muncul malu-malu. Tanpa ragu
ku langkahkan kakiku ke luar rumah. Memakai rok hitam dan kemeja putih bersih
dihiasi dengan jas almamater kebanggaan. Ku gendong tas ransel biru berisi
laptop dan beberapa buku, aku pun berjalan menuju kampus oren. Ya ... FISIP.
Hari
ini adalah hari dimana penentuan dari perjuanganku selama empat tahun. Tentu
saja hari ini merupakan hari dimana skripsiku
diuji. Sambil duduk menunggu dosen penguji datang, aku melamun. Memori otakku
berputar kembali ke masa lalu, saat empat tahun yang lalu. Saat untuk pertama
kalinya aku menginjakkan kakiku ke kota ini, saat pertama kalinya aku
menggunakan jas almamater ini dengan bangga, saat aku tahu kalau aku resmi
menjadi seorang mahasiswa baru. Teringat olehku semua kajadian yang dulu ku
alami. Berkenalan dengan teman baru, kuliah perdana, masa orientasi, dan entah
berapa banyak momen yang sudah ku lewati hingga sekarang.
“Tara,
sudah siap?” Ucap dosen pembimbingku mengagetkan lamunanku. “Sudah pak!” Jawabku
dengan mantap. Sempat terpikirkan ‘kemana sahabat-sahabatku?’ Mereka tak datang
ketika aku membutuhkan dukungan. Ah ... mungkin mereka sedang sibuk. Bukan
hanya aku yang sedang berambisi menyelesaikan tanggung jawab ini.
Di
dalam ruangan aku ditemani oleh Pak Rizki, dosen pembimbingku yang setia dan
tidak pernah bosan menuntunku untuk menyelesaikan tugas akhir ini, dan dua
orang dosen penguji. Dengan membaca bismillah
aku memulai presentasi tentang penelitianku. Tanpa ragu ku jawab semua
pertanyaan yang dilayangkan dari mereka. Sedikit grogi, namun kepedeanku
mengalahkan semuanya. Aku yakin penelitianku pasti berhasil.
Kulihat
ketiga dosen yang duduk di hadapanku berdiskusi kecil. Mereka menyuruhku keluar
meninggalkan ruangan sebentar. Aku menunggu dengan gelisah, jantungku berdegup
tak karuan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah
lima belas menit menunggu di luar, aku pun dipanggil kembali ke dalam ruangan
sidang. Aku berdiri di depan ketiga dosenku. Berusaha tersenyum manis
menghilangkan kegelisahanku.
“Baik
Tara, kami sepakat jika kamu lulus ujian ini,” Ucap salah satu dosen pengujiku.
Aku mencerna kembali kata-kata yang dia ucapkan. ‘Kami sepakat jika kamu lulus
ujian ini’? Tak salah dengar kah aku? Aku lulus?
Air
mata haru menetes dari pelupuk mataku. Sambil tersenyum aku menghapus air
mataku dan menyalami kedua dosen penguji dan dosen pembimbingku. Aku
benar-benar tak percaya jika aku lulus. Kurapihkan laptop dan perlengkapan lain
ke dalam tas ranselku. Aku pun beranjak keluar ruangan ujian.
“Tara!
Selamat ya udah jadi sarjana ilmu komunikasi!” Sahabat-sahabatku muncul entah
dari mana datangnya dan langsung memelukku. Memberiku beberapa buket bunga,
mahkota bahkan selempangan yang bertuliskan ‘S. I.Kom’. Aku speechless, tak bisa berkata-kata. Hanya
mampu menangis. Menangis karena terlalu senang.
Setelah
puas berfoto-foto dan berbincang mengenai ujian tadi, aku pulang kembali ke
kost-an. Langkahku kembali terasa ringan mengingat salah satu tanggung jawabku
selama empat tahun terakhir sudah selesai. Sambil menyusuri jalan, aku kembali
mengingat bagaimana aku mengenal tempat ini. Tempat yang sudah tak asing buatku
layaknya rumah sendiri. Tak terasa sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat
ini, kota ini, dan semua kehidupan di sini. Aku akan kembali ke kampung
halamanku. Berpisah dengan sahabat-sahabatku di sini dan memulai kehidupan baru
di sana. Berpisah, namun tidak benar-benar berpisah. Tak terbayang bagaimana
nanti aku mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Aku tahu tentu berat
rasanya, namun itu harus.
Kita
semua kelak akan berpisah, termasuk dengan orang-orang yang kita sayangi
sekalipun. Namun itu yang membuat kita semakin matang untuk menjadi orang yang
bijaksana. Dimana ada awal, pasti akan ada akhir. Tergantung bagaimana kita
menghadapinya.
Berpisah
itu sama sulitnya dengan memulai. Harus beradaptasi, harus menerima dan harus
mengerti makna dari perpisahan itu. Aku percaya jika perpisahan selalu hanya
sebagian kecil dari rencana Tuhan. Karena kelak akan ada rencana yang jauh
lebih baik dan tak terduga setelahnya. (zrn)
Editorial - A Farewell: Selamat Datang Pribadi yang Lebih Baik
A Farewell: Selamat
Datang Pribadi yang Lebih Baik
Farewell tidak hanya selalu menyoal
mengenai perpisahan yang mengharu-biru. Kenyataannya memang kita sebentar lagi
akan tiba di penghujung tahun. Banyak yang harus dipikirkan, dibenahi, dan
dievaluasi untuk menyambut tahun yang baru. Times
changed, then people changed too. Kamu yang dulu masih bisa santai saat
masih jadi maba, boro-boro ... sekarang bernapas saja rasanya susah. Tugas
menumpuk, kesibukan padat merayap, beban menata masa depan makin berat. Untuk
itulah agar menjadi pribadi yang lebih baik, kamu perlu menyiapkan salam
perpisahan termanis. Untuk siapa? Untuk rasa malas yang masih menggelanyuti
sampai sekarang, untuk resolusi-resolusi yang belum berhasil kamu laksanakan,
untuk kesalahan-kesalahan, dan apapun yang ingin kamu ubah. Setuju? (pat)
Maba Cup: Dibalik Susunan Lego Terdapat Makna Tersembunyi
Maba Cup 2015 adalah salah
satu program kerja
terbaru dari Kementrian Minat
dan Bakat BEM FISIP Universitas Brawijaya. Event ini berlangsung selama tujuh hari berturut-turut, dimulai dari tanggal 15
November 2015 sampai dengan 21 November 2015.
Maba
Cup bertujuan untuk menyatukan seluruh Maba
FISIP 2015 agar selalu menanamkan rasa solidaritas, tidak hanya di jurusan namun juga memberikan sense of belonging
antarsesama Maba. Tujuan ini tentunya mempunyai keselarasan dengan tema Maba
Cup yaitu Lego. Lego merupakan sebuah permainan yang terdiri dari bagian-bagian kecil
yang terbuat dari plastik. Cara bermainnya adalah dengan
menyatukan bagian-bagian tersebut agar menjadi suatu bentuk baru. Permainan Lego ini jika
dikaitkan dengan Maba FISIP 2015, dimana satu
Maba FISIP diibaratkan satu bagian Lego. Jika sebuah Lego
digabungkan dengan Lego lainnya maka akan membentuk suatu
ikatan yang kuat dan saling bersatu menjadi satu
FISIP.
Selain
mempunyai tujuan utama merekatkan semua Maba FISIP, Maba Cup juga mempunyai
tujuan untuk menggali
potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Potensi-potensi Maba
yang terlihat ini
nantinya akan disalurkan ke LSO FISIP sesuai
bidang yang berkaitan. Dengan cara tersebut, tentunya potensi-potensi yang
dimiliki Maba FISIP tidak berakhir hanya pada
ajang Maba Cup
ini saja, tetapi juga akan dilatih sebaik mungkin demi
menciptakan generasi baru yang lebih baik. Nantinya mereka yang berpotensi akan
diikutsertakan pada Olimpiade FISIP dan Olimpiade Universitas Brawijaya.
Lalu, bagaimana event
ini berlangsung? Sistem yang digunakan
dalam perlombaan ialah dengan mengumpulkan
perwakilan-perwakilan dari masing-masing kelompok besar yang sudah dibentuk
ketika PKKMABA FISIP. Lomba yang diadakan beraneka ragam, seperti Eating Contest, TTS, Instagram
Photo Contest, FISIP Idea, basket, futsal,
bulu tangkis,
catur, tarik
tambang, dan Singing Contest. Juara pertama diraih
oleh kelompok
besar Kecamatan
Klojen,
sedangkan juara kedua diraih oleh kelompok besar Kecamatan Lowokwaru.
Disusul pada
peringkat ketiga
sampai kelima oleh kelompok besar Kecamatan Kedung
Kandang, Kecamatan
Sukun, dan Kecamatan Blimbing.
“Jangan
apatis, ikuti semua rangkaian acara yang ada di FISIP ini, karena hal tersebut
tidak hanya menunjukkan kontribusi kalian kepada FISIP tapi juga pada penyatuan
Maba sebagai kesatuan akademisi FISIP,”
Pesan Kemas Rifanny Muslims selaku Ketua Pelaksana Maba
Cup 2015.
Wah, hebat sekali
ya acara Maba Cup ini! Mulai dari tujuan
utama, pengambilan tema, mekanismenya semuanya dipersiapkan dengan matang. BEM
FISIP sudah membuka kesempatan bagi Maba 2015 untuk menerbangkan sayap-sayapnya
di FISIP Universitas Brawijaya. Jadi tunggu apalagi?
Ingat kawan, jangan apatis karena kita
Satu FISIP. FISIP Tangguh Satu Perjuangan!
(urs/ism)
Sederet Keseruan Commolympic 2015
Commolympic adalah ajang perlombaan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi
(HIMANIKA) FISIP UB sebagai salah satu pelaksaan program kerja (proker)
divisinya. Ada tiga
bidang yang dilombakan, yaitu lomba futsal, lomba desain, dan lomba DoTA
2. Acara ini berlangsung pada tanggal
20-22 November 2015. Lomba futsal
dilaksanakan di Zona
SM, lomba desain produk dilaksanakan di ruang ujian FISIP,
dan lomba DoTA 2 dilaksanakan di Warnet Holycrap yang terletak di Jl. Galunggung.
Bidang-bidang yang dilombakan dalam Commolympic ini
menarik minat para mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UB. Salah satu contohnya
yaitu lomba desain produk. Kompetisi ini mengharuskan mahasiswa agar berkreasi sekreatif mungkin untuk mendesain suatu produk. Selain itu mereka juga harus memikirkan bagaimana produk yang didesain dapat menarik perhatian konsumen/khalayak. Lomba yang satu ini menjadi salah satu cerminan akademik di jurusan ilmu komunikasi, yakni implementasi dari peminatan manajemen komunikasi. Tak kalah menariknya ialah lomba DoTA 2. DoTA 2 adalah game online
yang mengutamakan strategi
yang kuat. Bidang lomba ini menarik
banyak peminat, karena game online yang
biasanya hanya sebagai penghilang penat sehari-hari kini dijadikan sebuah ajang berhadiah.
Tujuan diadakannya Commolympic adalah untuk mempertemukan serta mengeratkan hubungan antarmahasiswa Ilmu Komunikasi. Acara ini diharapkan bisa menjadi ajang silaturahmi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP
UB. Selain itu tujuan lainnya ialah untuk mencari bibit-bibit unggul mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam bidangnya masing-masing.
Para juara Commolympic:
Juara I DOTA 2 : Komunikasi
Reject
Juara I Lomba Design Product : Axel Alvio Nahumury (Komunikasi 2014)
(tbt-nna)
Kotasentris: Berkubu yang Rawan Menjadi Sumbu
Terkota(k)-kota(k), berkubu-kubu, atau apapun
istilahnya. Itulah yang saya rasakan selama hampir satu semester menjajaki
dunia perkuliahan di Universitas Brawijaya, terutama di fakultas saya sendiri.
Saya merasa ada sekat tak kasat mata yang terjalin di antara teman-teman saya.
Saya merasakan adanya eksklusivitas dan pembedaan yang didasari oleh perbedaan
asal daerah. Apakah kalian juga merasakan hal yang sama?
***
Dunia kampus memang beragam, mahasiswanya pun
beragam. Teman sepermainan, tempat kongkow,
bahkan obrolannya pun beragam. Meskipun begitu, mahasiswa yang tampaknya dekat
dengan pluralitas serta keberagaman ternyata cenderung memilih lingkup sebuah
kelompok yang sama. Dalam hal ini misalnya sama pikirian, sama obrolan, dan
umumnya juga sama kota (asal domisili). Kondisi ini berawal dari hal yang
sebenarnya sederhana, umumnya karena kesamaan dialek bahasa.
Ketidaksempurnaan dalam beradaptasi juga menjadi faktor yang dominan dalam fenomena ini.
Bagi mereka yang terlalu lama berdiam di suatu tempat (dalam hal ini kota
kelahirannya), dari kecil hingga dewasa, mungkin akan sangat susah dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan hingga budaya baru. Salah satunya dalam lingkup dunia
kampus yang kebanyakan
mahasiswanya berasal dari berbagai wilayah.
Contoh kasus yang paling jelas terlihat sebenarnya
selalu sama tiap tahunnya, yaitu antara pihak ibukota (I) dengan pihak penduduk
asli (A). Kebingungan saya memunculkan satu pertanyaan: bukankah ibukota juga
terletak di Pulau Jawa? Lalu apa yang membuat suatu batasan dari pergaulan ini?
Dialek
bahasa.
Pihak A menganggap dialek pihak I terlalu kasar,
sebaliknya pihak I menganggap dialek pihak A terlalu aneh, begitu seterusnya
dari tahun ke tahun. Kecenderungan pihak I dalam bergaul pada teman sesama
daerahnya dengan menggunakan sapaan ‘gue-elo’,
dinilai kurang cocok dengan kultur pihak A yang biasa menggunakan sapaan ‘aku-kamu’ dalam kesehariannya.
Pertanyaannya: masalahnya apakah satu pihak tidak
ingin beradaptasi dengan kultur baru, atau mungkin pihak lain malah terlalu
memaksakan kultur yang ada terhadap para pedatang?
Sebenarnya ada beberapa orang yang kerap berusaha
mencairkan suasana ketika sedang mengobrol. Awalnya tak ada masalah, tetapi
kemudian beberapa kata yang bernada ‘candaan’ dari satu pihak malah membuat
pihak lainnya merasa tersinggung. Tak ada maksud buruk dari pihak yang
melontarkan ‘candaan’ tersebut, tapi di lain pihak kata-kata seperti itu bernada
merendahkan. Perbedaan ‘guyonan’ seperti ini juga yang menjadi hal besar dalam
pembentukan sekat antar pihak ini.
Dalam sudut pandang lain, hal ini sebenarnya
wajar-wajar saja ketika beberapa orang lebih ‘nyambung’ ngobrol dengan mereka
yang berasal dari daerah yang sama. Tetapi saat perbedaan ini berubah menjadi
penyulut api kesalahapahaman antar pihak, hal ini lah yang sangat disayangkan.
Toleransi yang diajarkan oleh bu guru hingga pak
ustadz dulu seakan terlupakan. Kini orang lebih suka membanding-bandingkan satu
hal dengan lainnya tanpa mau berfikir bijak sama sekali. Statement hingga stereotype
baru yang merugikan bisa menciptakan potensi konflik. Sebaiknya setiap pihak
dapat menerima sesuatu yang baru dan bertoleransi dalam keberagaman, terutama
dalam menyikapi perbedaan budaya. Lestarikan sikap toleransi. Dengan begitu,
maka keterbukaan, kebersamaan, hingga sikap saling menyayangi antarsesama
manusia tentu akan tumbuh. Perbedaan nantinya tidak akan menjadikan sekat,
tetapi menjadi pengetahuan tersendiri akan hal baru yang tak pernah kita
pikirkan sebelumnya.
Bukankah indah saat sesama manusia dapat berkumpul
bersama? Atau apakah kita hanya akan peduli ketika ras manusia hanya tinggal
beberapa ribu saja? Jawabannya kembali ke diri masing-masing. Jika saja keberagaman hal dapat
dinikmati, tentu takkan ada sumbu penyulut api. (zki)
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)